Kamis, 15 November 2012


Situs Arkeologi di Trowulan Mojokerto




Situs Arkeologi di Trowulan Mojokerto

Bajang Ratu, gapura anggun bergaya Paduraksa di Trowulan, Mojokerto

Trowulan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten MojokertoJawa TimurIndonesia. Kecamatan ini terletak di bagian barat Kabupaten Mojokerto, berbatasan dengan wilayahKabupaten Jombang. Trowulan terletak di jalan nasional yang menghubungkanSurabaya-Solo.
Di kecamatan ini terdapat puluhan situs seluas hampir 100 kilometer persegi berupa bangunan, temuan arca, gerabah, dan pemakaman peninggalan Kerajaan Majapahit. Diduga kuat, pusat kerajaan berada di wilayah ini yang ditulis oleh Mpu Prapanca dalam kitab Kakawin Nagarakretagama dan dalam sebuah sumber Cina dari abad ke-15. Trowulan dihancurkan pada tahun 1478 saat Girindrawardhana berhasil mengalahkan Kertabumi, sejak saat itu ibukota Majapahit berpindah ke Daha.

Kitab Negarakertagama menyebutkan deskripsi puitis mengenai keraton Majapahit dan lingkungan sekitarnya, tetapi penjelasannya hanya terbatas pada perihal upacara kerajaan dan keagamaan. Detil keterangannya tidak jelas, beberapa ahli arkeologi yang berusaha memetakan ibu kota kerajaan ini muncul dengan hasil yang berbeda-beda.
Penelitian dan penggalian di Trowulan di masa lampau dipusatkan pada peninggalan monumental berupa candi, makam, dan petirtaan (pemandian). Belakangan ini penggalian arkeologi telah m3nemukan beberapa peninggalan aktivitas industri, perdagangan, dan keagamaan, serta kawasan permukiman dan sistem pasokan air bersih. Semuanya ini merupakan bukti bahwa daerah ini merupakan kawasan permukiman padat pada abad ke-14 dan ke-15.

Deskripsi berdasarkan sumber kontemporer

Bajang Ratu pada tahun 1929, sebelum dipugar

Menurut Prapanca dalam kitab Negarakertagama; keraton Majapahit dikelilingi tembok bata merah yang tinggi dan tebal. Didekatnya terdapat pos tempat para ponggawa berjaga. Gerbang utama menuju keraton (kompleks istana) terletak di sisi utara tembok, berupa gapura agung dengan pintu besar terbuat dari besi berukir. Di depan gapura utara terdapat bangunan panjang tempat rapat tahunan para pejabat negara, sebuah pasar, serta sebuah persimpangan jalan yang disucikan.

Masuk ke dalam kompleks melalui gapura utara terdapat lapangan yang dikelilingi bangunan suci keagamaan. Pada sisi barat lapangan ini terdapat pendopo yang dikelilingi kanal dan kolam tempat orang mandi. Pada ujung selatan lapangan ini terdapat jajaran rumah yang dibangun diatas teras-teras berundak, rumah-rumah ini adalah tempat tinggal para abdi dalem keraton. Sebuah gerbang lain menuju ke lapangan ketiga yang dipenuhi bangunan dan balairung agung. Bangunan ini adalah ruang tunggu bagi para tamu yang akan menghadap raja. Kompleks istana tempat tinggal raja terletak di sisi timur lapangan ini, berupa beberapa paviliun atau pendopo yang dibangun di atas landasan bata berukir, dengan tiang kayu besar yang diukir sangat halus dan atap yang dihiasi ornamen dari tanah liat. Di luar istana terdapat kompleks tempat tinggal pendeta Shiwa, bhiksu Buddha, anggota keluarga kerajaan, serta pejabat dan ningrat (bangsawan). Lebih jauh lagi ke luar, dipisahkan oleh lapangan yang luas, terdapat banyak kompleks bangunan kerajaan lainnya, termasuk salah satunya kediaman Mahapatih Gajah Mada. Sampai disini penggambaran Prapanca mengenai ibu kota Majapahit berakhir.

Sebuah catatan dari China abad ke-15 menggambarkan istana Majapahit sangat bersih dan terawat dengan baik. Disebutkan bahwa istana dikelilingi tembok bata merah setinggi lebih dari 10 meter serta gapura ganda. Bangunan yang ada dalam kompleks istana memiliki tiang kayu yang besar setinggi 10-13 meter, dengan lantai kayu yang dilapisi tikar halus tempat orang duduk. Atap bangunan istana terbuat dari kepingan kayu (sirap), sedangkan atap untuk rumah rakyat kebanyakan terbuat dari ijuk atau jerami.

Sebuah kitab tentang etiket dan tata cara istana Majapahit menggambarkan ibu kota sebagai; "Sebuah tempat dimana kita tidak usah berjalan melalui sawah". Relief candi dari zaman Majapahit tidak menggambarkan suasana perkotaan, akan tetapi menggambarkan kawasan permukiman yang dikelilingi tembok. Istilah 'kuwu' dalam Negarakertagama dimaksudkan sebagai unit permukiman yang dikelilingi tembok, dimana penduduk tinggal dan dipimpin oleh seorang bangsawan. Pola permukiman seperti ini merupakan ciri kota pesisir Jawa abad ke-16 menurut keterangan para penjelajah Eropa. Diperkirakan ibu kota Majapahit tersusun atas kumpulan banyak unit permukiman seperti ini.

Penemuan

Reruntuhan kota kuno di Trowulan ditemukan pada abad ke-19. Berdasarkan laporan Sir Thomas Stamford Raffles yang menjabat sebagai gubernur Jawa dari 1811 sampai 1816, disebutkan bahwa; 'terdapat reruntuhan candi.... tersebar bermil-mil jauhnya di kawasan ini'. Saat itu kawasan ini merupakan hutan jati yang lebat sehingga survei dan penelitian yang lebih rinci tidak mungkin dilaksanakan. Meskipun demikian, Raffles yang sangat berminat pada sejarah dan kebudayaan Jawa, terpesona dengan apa yang dilihatnya dan menjuluki Trowulan sebagai 'Kebanggaan pulau Jawa'.

Situs Arkeologi

Peta situs Trowulan. Titik merah adalah situs arkeologi, warna biru muda adalah bekas kanal kuna.

Penggalian di sekitar Trowulan menunjukkan sebagian dari permukiman kuno yang masih terkubur lumpur sungai dan endapan vulkanik beberapa meter di bawah tanah akibat meluapnya sungai Brantas dan aktivitas gunung Kelud. beberapa situs arkeologi tersebar di sekitar desa Trowulan. Beberapa dalam keadaan rusak, sedangkan beberapa situs lainnya telah dipugar. Kebanyakan bangunan kuno ini terbuat dari bahan bata merah.

Candi Tikus

Kolam pemandian Candi Tikus

Candi Tikus adalah kolam pemandian ritual (petirtaan). Kolam ini mungkin menjadi temuan arkeologi paling menarik di Trowulan. Nama Candi Tikus diberikan karena pada saat ditemukan tahun 1914, situs ini menjadi sarang tikus. Dipugar menjadi kondisi sekarang ini pada tahun 1985 dan 1989, kompleks pemandian yang terbuat dari bata merah ini berbentuk cekungan wadah berbentuk bujur sangkar. Di sisi utara terdapat sebuah tangga menuju dasar kolam. Struktur utama yang menonjol dari dinding selatan diperkirakan mengambil bentuk gunung legendaris Mahameru. Bangunan yang tidak lagi lengkap ini berbentuk teras-teras persegi yang dimahkotai menara-menara yang ditata dalam susunan yang konsentris yang menjadi titik tertinggi bangunan ini.

Gapura Bajang Ratu

Tidak jauh dari Candi Tikus, di kecamatan Keraton berdiri gapura Bajang Ratu, sebuah gapura paduraksa anggun dari bahan bata merah yang diperkirakan dibangun pada pertengahan abad ke-14 M. Bentuk bangunan ini ramping menjulang setinggi 16,5 meter yang bagian atapnya menampilkan ukiran hiasan yang rumit. Bajang Ratu dalam bahasa Jawa berarti Raja (bangsawan) yang kerdil atau cacat. Tradisi masyarakat sekitar mengkaitkan keberadaan gapura ini dengan Raja Jayanegara, raja kedua Majapahit. Berdasarkan legenda ketika kecil Raja Jayanegara terjatuh di gapura ini dan mengakibatkan cacat pada tubuhnya. Nama ini mungkin juga berarti "Raja Cilik" karena Jayanegara naik takhta pada usia yang sangat muda. Sejarahwan mengkaitkan gapura ini dengan Çrenggapura (Çri Ranggapura) atau Kapopongan di Antawulan (Trowulan), sebuah tempat suci yang disebutkan dalam Negarakertagama sebagai pedharmaan (tempat suci) yang dipersembahkan untuk arwah Jayanegara yang wafat pada 1328.

Gapura Wringin Lawang

Wringin Lawang, gapura di Trowulan,Mojokerto

Wringin Lawang terletak tak jauh ke selatan dari jalan utama di Jatipasar. Dalam bahasa Jawa, "Wringin Lawang" berarti "Pintu Beringin". Gapura agung ini terbuat dari bahan bata merah dengan luas dasar 13 x 11 meter dan tinggi 15,5 meter. Diperkirakan dibangun pada abad ke-14. Gerbang ini lazim disebut bergaya 'Candi Bentar' atau tipe gerbang terbelah. Gaya arsitektur seperti ini mungkin muncul pada era Majapahit dan kini banyak ditemukan dalam arsitektur Bali. Kebanyakan sejarahwan sepakat bahwa gapura ini adalah pintu masuk menuju kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit. Dugaan mengenai fungsi asli bangunan ini mengundang banyak spekulasi, salah satu yang paling populer adalah gerbang ini diduga menjadi pintu masuk ke kediaman Mahapatih Gajah Mada.

Candi Brahu

Di kecamatan Bejijong terdapat Candi Brahu. Candi ini merupakan satu-satunya bangunan suci tersisa yang masih cukup utuh dari kelompok bangunan-bangunan suci yang pernah berdiri di kawasan ini. Menurut kepercayaan masyarakat setempat di candi inilah tempat diselenggarakan upacara kremasi (pembakaran jenazah) empat raja pertama Majapahit. Meskipun dugaan ini sulit dibuktikan, namun bukti fisik menunjukkan bangunan ini merupakan bangunan suci peribadatan yang diduga adalah bangunan suci untuk memuliakan anggota keluarga kerajaan yang telah wafat. Mengenai siapakah tokoh atau raja Majapahit yang dimuliakan di candi ini masih belum jelas. Di dekat candi Brahu terdapat reruntuhan Candi Gentong.

Makam Putri Cempa

Makam Putri Cempa adalah sebuah makam bercorak Islam yang dipercaya masyarakat setempat merupakan makam salah satu istri atau selir raja Majapahit yang berasal dariChampa. Menurut tradisi lokal, Putri Cempa (Champa) yang wafat tahun 1448 adalah seorang muslimah yang menikahi salah seorang raja Majapahit terakhir yang akhirnya berhasil dibujuknya untuk masuk Islam.

Kolam Segaran


Kolam Segaran adalah kolam besar berbentuk persegi panjang dengan ukuran 800 x 500 meter persegi. Nama Segaran berasal dari bahasa Jawa 'segara' yang berarti 'laut', mungkin masyarakat setempat mengibaratkan kolam besar ini sebagai miniatur laut. Tembok dan tanggul bata merah mengelilingi kolam yang sekaligus memberi bentuk pada kolam tersebut. Saat ditemukan oleh Maclain Pont pada tahun 1926, struktur tanggul dan tembok bata merah tertimbun tanah dan lumpur. Pemugaran dilakukan beberapa tahun kemudian dan kini kolam Segaran difungsikan oleh masyarakat setempat sebagai tempat rekreasi dan kolam pemancingan. Fungsi asli kolam ini belum diketahui, akan tetapi penelitian menunjukkan bahwa kolam ini memiliki beberapa fungsi, antar lain sebagai kolam penampungan untuk memenuhi kebutuhan air bersih penduduk kota Majapahit yang padat, terutama pada saat musim kemarau. Dugaan populer lainnya adalah kolam ini digunakan sebagai tempat mandi dan kolam latihan renang prajurit Majapahit, disamping itu kolam ini diduga menjadi bagian taman hiburan tempat para bangsawan Majapahit menjamu para duta dan tamu kerajaan.

Candi Menak Jingga

Di sudut timur laut kolam Segaran terdapat reruntuhan Candi Menak Jingga. Bangunan ini kini hanya tersisa reruntuhannya berupa bebatuan yang terpencar dan fondasi dasar bangunan yang masih terkubur di dalam tanah. Pemugaran tengah berlangsung. Keunikan bangunan ini adalah bangunan ini terbuat dari batu andesit pada lapisan luarnya, sedangkan bagian dalamnya terbuat dari bata merah. Hal yang paling menarik dari bangunan ini adalah pada bagian atapnya terdapat ukiran makhluk ajaib yang diidentifikasi sebagai Qilin, makhluk ajaib dalam mitologi China. Temuan ini mengisyaratkan bahwa terdapat hubungan budaya yang cukup kuat antara Majapahit dengan Dinasti Ming di China. Tradisi setempat mengkaitkan reruntuhan ini dengan pendopo (paviliun) Ratu Kencana Wungu, ratu Majapahit dalam kisah Damarwulan dan Menak Jingga.

Umpak

Di situs Umpak, terdapat beberapa alas batu tempat memancangkan tiang kayu. Diperkirakan merupakan bagian dari bangunan kayu. Karena terbuat dari bahan organik, bangunan kayu telah musnah dan hanya menyisakan alas batu.

Troloyo

Di kecamatan Troloyo ditemukan beberapa batu nisan bercorak Islam. kebanyakan batu nisan berangka tahun 1350 dan 1478. Temuan ini membuktikan bahwa komunitas muslim bukan hanya telah hadir di Jawa pada pertengahan abad ke-14, tapi juga sebagai bukti bahwa agama Islam telah diakui dan dianut oleh sebagian kecil penduduk ibu kota Majapahit. Penduduk setempat percaya bahwa di makam Troloyo terdapat makam Raden Wijaya, dan setiap Jumat Legi diadakan ziarah di makam ini.

Situs lainnya

Situs-situs penting lainnya antara lain:

 

Rumah

Penggalian arkeologi mengungkapkan lantai bata dan dinding permukiman. Dalam beberapa kasus ditemukan dua atau tiga lapisan bangunan yang bertumpuk. Permukiman ini dilengkapi dengan sumur dan saluran air. Ditemukan pula tempat penyimpanan air dan sumur yang dibatasi susunan bata dan tembikar.

[sunting] Industri

Banyak perhiasan emas yang berasal masa ini telah ditemukan di Jawa Timur. Meskipun tidak terdapat banyak tambang emas di Jawa, impor emas dari Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi memungkinkan pengrajin emas untuk berproduksi dan bekerja di Jawa.
Salah satu kecamatan di Trowulan disebut Kemasan, yang berasal dari kata mas yang berarti emas. Perhiasan emas serta peralatan pengrajin emas ditemukan di dekat daerah ini. Mangkuk tembikar kecil yang mungkin pernah digunakan untuk melumerkan emas, alas tempa perunggu serta batu rata bundar berkaki tiga yang digunakan sebagai alas untuk menempa dan mengukir logam. Sejumlah besar tanah liat yang digunakan untuk melumerkan dan mencetak perunggu juga ditemukan di dusun Pakis.
Beberapa perunggu digunakan untuk mencetak uang gobog, koin besar yang sering digunakan sebagai azimat. Beberapa benda logam lain juga ditemukan, diantaranya lampu perunggu berukir, wadah air, genta, dan benda-benda lain yang mungkin digunakan untuk upacara keagamaan dan instrumen musik gendang perunggu. Benda serupa yang terbuat dari kayu dan bambu masih dapat ditemukan di Jawa dan Bali. Banyak juga ditemukan peralatan besi yang mungkin didatangkan ke Jawa karena Jawa memiliki sedikit tambang bijih besi.

Uang dan Pasar

Celengan tanah liat Majapahit dari abad ke-14 sampai ke-15. Trowulan, Jawa Timur. (Koleksi Museum Nasional Jakarta)
 
Naskah Nawanatya menyebutkan mengenai pejabat kerajaan yang bertugas untuk melindungi pasar. 'Delapan ribu keping uang tunai tiap harinya' diterima pejabat ini. Uang tunai yang dimaksud dalam naskah ini adalah uang kepeng Cina, yang menjadi mata uang resmi Majapahit sejak tahun 1300, menggantikan sebagian fungsi mata uang emas danperak yang telah digunakan selama berabad-abad. Uang logam atau koin China ini disukai karena tersedia dalam nilai kecil atau uang receh, sangat cocok untuk transaksi sehari-hari di pasar. Temuan ini menggambarkan perubahan ekonomi di Trowulan yang ditandai dengan munculnya usaha dan pekerjaan yang lebih terspesialisasi, pembayaran dengan upah, dan perolehan barang kebutuhan sehari-hari dengan cara jual-beli. Bukti penting persepsi masyarakat Jawa abad ke-14 terhadap uang tergambarkan dalam wujud celengan babi dengan lubang di punggungnya untuk memasukkan uang logam. Hubungan antara figur babi dengan wadah uang sangat jelas; dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, kata 'celengan' dapat berarti wadah tepat menyimpan uang atau menabung. Sedangkan akar katanya sendiri 'celeng' yang berarti babi hutan. Wadah uang dalam bentuk lain juga ditemukan.


Tembikar

Seni tembikar adalah kegiatan utama masyarakat Majapahit. Kebanyakan perabot tembikar digunakan untuk keperluan rumah tangga, seperti untuk memasak atau wadah penyimpanan, dengan hiasan terbatas pada bentuk garis-garis cat merah. Lampu minyak kelapa dari tembikar juga umum ditemukan. Tembikar terhalus buatannya umumnya berupa wadah seperti gentong, guci, dan kendi dengan dinding yang tipis, bentuk yang indah, serta permukaan halus berkilau warna merah yang didapat dengan cara pengampelasan baik sebelum atau sesudah pembakaran. Karya tembikar ini dipastikan sebagai hasil karya pengrajin tembikar yang mahir dan profesional. Wadah air adalah produk tembikar urban utama Majapahit dan banyak gentong air bulat ditemukan. Ada pula wadah air berbentuk kotak yang dihiasi motif pemandangan bawah air dan pemandangan lainnya. Patung tembikar dari tanah liat diproduksi dalam jumlah besar dan menggambarkan banyak hal. Mulai dari figur dewa, manusia, hewan, miniatur bangunan, dan pemandangan. Fungsi pastinya belum diketahui; mungkin memiliki banyak fungsi. Beberapa figur tanah liat mungkin merupakan bagian dari kuil kecil tempat persembahyangan di masing-masing rumah penduduk seperti yang kini ada di Bali. Contoh dari barang tembikar dalam bentuk miniatur bangunan dan hewan juga ditemukan di dekat bangunan suci di gunung Penanggungan. Beberapa figur lainnya merupakan penggambaran yang jenaka atas orang-orang asing dan pendatang di Majapahit, mungkin secara sederhana juga digunakan sebagai mainan anak-anak.

Taman Majapahit

Menjelang akhir tahun 2008, pemerintah Indonesia menyeponsori eksplorasi besar-besaran di situs yang dipercaya sebagai bekas lokasi istana Majapahit. Jero Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia menyatakan bahwa Taman Majapahit akan dibangun di kawasan ini dan akan rampung pada tahun 2009. Pembangunan kawasan ini bertujuan untuk mencegah kerusakan situs Trowulan akibat industri pembuatan bata rumahan yang tumbuh banyak di kawasan ini. Taman Majapahit ini memperluas areaMuseum Trowulan yang telah ada dan menjadi sarana wisata edukasi dan rekreasi yang bertema sejarah Majapahit.
Akan tetapi, proyek ini menimbulkan kontroversi dan mengundang protes dari arkeolog dan sejarahwan, karena pembangunan fondasi bangunan Pusat Informasi Majapahit di situs Segaran sebelah selatan Museum Trowulan, telah merusak situs arkeologi tersebut. Struktur tembok bata dan sumur Jobong yang sangat berharga berserakan dan rusak di lokasi pembangunan. Pemerintah berdalih bahwa metode penggalian yang diterapkan tidak merusak situs jika dibandingkan dengan metode pengeboran. Sejak saat itu pembangunan Taman Majapahit ditunda untuk meneliti dampak pembangunan terhadap situs arkeologi.

Sumber: wikipedia

Sistem Pengairan Zaman Majapahit Masih Lebih Baik Daripada Sistem PEngendali Banjir Ibu kota


Sistem Pengairan Zaman Majapahit Masih Lebih Baik Daripada Sistem PEngendali Banjir Ibu kota


Sistem Pengairan Majapahit Mengatasi Banjir dan Kekeringan

Banjir dan kekeringan bergantian terjadi di sejumlah wilayah Indonesia. Sementara itu, pada masa Majapahit abad XIII sampai XV, air bukan lagi menjadi masalah. Manajemen dan teknologi pengairan dipikirkan secara matang untuk kepentingan Kerajaan Majapahit dan rakyatnya.

Dari masa Majapahit banyak instalasi pengairan yang tersisa. Sebagian masih digunakan masyarakat sebagai jaringan irigasi yang tidak pernah kering, seperti terowongan air bawah tanah di Dukuh Surowono, Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri.

Di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, kendati instalasi pengairan yang ditemukan lebih lengkap dan beragam, sebagian sudah terlupakan serta berubah wujud dan fungsi. Di Trowulan, teknologi pengairan Majapahit yang tersisa terdiri atas jaringan kanal, kolam penampung air, waduk, bak kontrol, dan saluran air bawah tanah.

Foto udara Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional mulai tahun 1973 sampai tahun 1980-an menunjukkan keberadaan jaringan kanal di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Jalur kanal yang lurus ini memanjang 4,5-5,5 kilometer dan bersilangan membentuk kisi-kisi. Lebarnya tidak kurang dari 20 meter, bahkan ketika dipetakan terakhir 40-80 meter dan kedalamannya 6-9 meter.

Sisa jalur kanal saat ini masih bisa dikenali kendati umumnya sudah menjadi persawahan. Bentuknya melebar dan cekung. Sawah yang memanfaatkan sisa kanal ini tidak pernah kering. Di tepian kanal umumnya terdapat selokan dengan susunan bata dari masa Majapahit.

Selain menjadi sawah, sebagian kanal sudah menjadi permukiman, seperti yang terlihat di barat laut Kolam Segaran. Di sekitar makam Troloyo, kanal dibatasi dengan tembok dan dijadikan lapangan parkir. Di perbatasan Mojokerto-Jombang, sebagian kanal malah sudah rata dengan permukaan tanah dan siap diaspal menjadi Jalan Lingkar Mojoagung.

Jaringan kanal yang lurus dengan pola berkisi-kisi, menurut Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia Prof Mundardjito, menunjukkan adanya kekuatan penguasa dan massa yang besar untuk membuatnya.

Fungsinya diperkirakan sebagai pengendali banjir atau drainase kota, penyedia air, irigasi, dan transportasi.

Selain kanal, di sekitar Trowulan bisa dilihat sisa instalasi pengairan yang mendukung kehidupan kerajaan dan masyarakat. Kolam Segaran seluas 6,5 hektar di Kecamatan Trowulan bisa dilihat sebagai penampung air. Adapun waduk-waduk, seperti Balong Bunder dan Balong Dowo yang masih tersisa, diduga berfungsi sebagai penangkap air dari berbagai sumber di gunung-gunung di selatan Trowulan.

Selain itu, sebuah kolam penampung berukuran 1-2 hektar masih bisa dilihat pula di Dukuh Botokpalun, Desa Temon, Kecamatan Trowulan. Bagian tangkis waduk ini lebih lebar ketimbang pematang sawah biasa, sekitar 1 meter. Warga setempat menyebutnya waduk milik Dinas Pengairan Mojokerto dan kini dikelola desa sebagai sawah yang disewakan.

Matsom (52), warga Botokpalun, mengatakan, kedalaman lumpur di sawah itu mencapai pinggang manusia, sedangkan di dasarnya terdapat batu yang membuat air tidak keluar. Karena lumpur yang tebal, khusus di tempat itu, menanam padi bisa dilakukan tiga kali musim tanam tanpa menambahkan air.

Instalasi pengatur air lainnya, Candi Tikus, diyakini sebagai pengukur debit air. Ketika air berlebih, saluran-saluran air bawah tanah menyalurkannya ke sungai-sungai yang ada di sekitar Trowulan. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada tahun 1989-1990 juga menemukan bangunan dari susunan batu bata yang tampak seperti bak kontrol di sekitar Dukuh Blendren, Desa Watesumpak, Kecamatan Trowulan.

Saluran air bawah tanah dan sumur, baik berbentuk segi empat, bulat, maupun tipe jobong, masih banyak ditemukan di Trowulan kendati mulai rusak atau hilang. Selain di Desa Watesumpak dan di Desa Bejijong, saluran air bawah tanah juga masih tampak di Desa Nglinguk. Di Nglinguk, saluran air bawah tanah seperti selokan kecil yang disusun dari bata. Adapun bagian atas (penutup) saluran bawah tanah sudah hilang sehingga sekilas tampak seperti selokan kuno.

”Peninggalan ini menunjukkan apa yang dibuat Kerajaan Majapahit untuk rakyatnya. Di Jawa Tengah, banyak peninggalan bangunan suci, tetapi belum ditemukan peninggalan yang khusus ditujukan untuk pertanian dan kesejahteraan rakyat,” tutur topograf Bambang Siswoyo, pensiunan staf Balai Studi dan Konservasi Borobudur.

Melihat posisi jaringan kanal yang melingkupi daerah yang diduga istana Majapahit, seperti di Sentonorejo, pengajar Sejarah Universitas Negeri Surabaya, Hanan Pamungkas, melihatnya secara kosmologis. Menurut Hanan, dalam konsep Jambudwipa, kawasan istana dianggap mahameru, atau pusat jagat raya yang dikelilingi benua dan samudra.

Dwi Cahyono menyepakati hal ini. ”Tanah di situs Sentonorejo tempat ditemukan sumur upas, lantai segi enam, dan umpak agak membukit. Kolam Segaran dan kanal bisa dianggap sebagai samudra yang melengkapi pusat kosmik,” tuturnya.

Di luar masalah kosmologi, manajemen air sangat relevan dengan masa sekarang. Kondisi iklim Nusantara dengan dua musim, hujan dan kemarau, menimbulkan risiko banjir dan kekeringan bila air tidak dikelola. Masalahnya, ketika Trowulan mulai ditinggalkan sebagai pusat kerajaan akibat konflik politik pada akhir Majapahit, instalasi air ini tidak lagi terawat.

Selepas kemerdekaan, berbagai konflik politik semakin menjauhkan informasi manajemen air yang sangat maju ini. Mojokerto pun mulai mengalami banjir seperti yang terakhir terjadi pada awal Januari 2010. Tidak hanya kawasan yang pernah menjadi bagian dari pusat Majapahit, Pemerintah Indonesia secara keseluruhan semestinya bisa mempelajari teknologi pengairan yang sangat maju dan memerhatikan rakyat ini.
gambar6a.jpg
(artikel ini disumbangkan oleh mas tjahja tribinuka, pengajar di arsitektur ITS)
Imej tentang kerajaan Majapahit di Mojokerto, Jawa Timur tentunya sudah banyak disajikan, dari buku cerita, komik sampai film. Namun pencitraan satelit dari wilayah arkeologi Trowulan sebagai lokasi berbicara sangat berlainan dengan gambaran yang sudah ada sekarang. Ternyata wilayah kerajaan Majapahit dibuat dengan kanal-kanal berpola Grid!
Gambar 1a. Citra satelit situs kerajaan Majapahit dari Majapahit Kingdom.com
gambar1a.jpg
gambar 1a
Kanal yang belebar 20-30 meter! Tersebut memiliki kedalaman 4 meter!, total dari panjang kanal yang ditemukan adalah 18 kilometer! Jika masa kejayaan kerajaan Majapahit berada dibawah pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, maka kanal-kanal tersebut dibuat dengan penggalian manual, tanpa alat berat dan hanya menggunakan cangkul serta linggis pada abad ke 14. Pembatas dari kanal besar tersebut adalah susunan batu-bata tanpa spesi, sedangkan air yang memenuhi kanal diambilkan dari sungai-sungai dan diatur melalui kolam besar (situs segaran).
Gambar 2a. Peta peninggalan kerajaan Majapahit oleh Bakosurtanal tahun 1983
gambar2a.jpg
gambar 2a
Gambar 3a. Overlapping kedua peta, oleh tribinuka 2008
gambar3a.jpg
gambar 3a
Kejayaan kekuasaan Prabu Hayam Wuruk tidak terlepas dari kiprah Mahapatih Gajah Mada. Kerajaan majapahit sendiri lebih cenderung beragama Hindu, namun demikian, demi persatuan dan kesatuan, kerukunan dengan agama Budha juga tetap dijaga. Secara lengkap kerukunan itu tersurat dalam semboyan kerajaan dengan kalimat ”Siwa Buddha Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”.
Gambar 4a. Prakiraan kelengkapan fasilitas berdasarkan Sanga Mandala dan sambungan kanal menuju sungai, oleh tribinuka 2008
gambar4a.jpg
gambar 4a
Gambar 5a. Prakiraan layout kerajaan Majapahit, oleh tribinuka 2008
gambar5a.jpg
gambar 5a
Saat ini semboyan kerajaan Majapahit digunakan oleh negara Republik Indonesia dengan mencuplik intisarinya. Sebuah kalimat yang sangat bermakna bagi penyatuan berbagai agama; Islam, Kristen, Hindu, Budha. Persatuan dengan penghargaan terhadap konsep multikultural demi kedewasaan masyarakat dan kemajuan peradaban bangsa.
Tulisan ini bukan untuk membangkitkan arwah masa lalu, namun sebagai wacana bahwa apa yang sudah diyakini saat ini, berdasarkan fakta ilmiah dapat berubah. Imej mengenai sejarah juga dapat berubah.
http://teknologitinggi.wordpress.com/2010/05/15/sistem-pengairan-majapahit-mengatasi-banjir-dan-kekeringan/ 

Museum Trowulan dan Exclusive (Pict.)



sumber : http://thearoengbinangproject.com
Museum Trowulan dan Koleksinya
Jl. Pendopo Agung, Kecamatan Trowulan,
Mojokerto, Telp. dan Fax: (0321) 495515
Museum Trowulan

Museum Trowulan berada di kanan jalan di sebuah jalan simpang di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Mungkin tidak lama lagi nama Museum Trowulan ini akan berganti nama menjadi Museum Majapahit, yang pembangunannya kabarnya sudah dimulai akhir tahun lalu.

Untuk memotret koleksi Museum Trowulan yang berada di dalam gedung ini diperlukan ijin tertulis dari Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Trowulan, yang kantornya berada di Jl. Majapahit No. 141-143, Trowulan, Mojokerto, Telp. (0321) 495515.

Museum Trowulan mulai dibuka pada 1926 untuk menyimpan dan memamerkan benda-benda purbakala hasil penelitian Oudheidkundige Vereeneging Majapahit (OVM), sebuah perkumpulan yang didirikan tahun 1924 oleh Kanjeng Adipati Aria Kramadjaja Adinegara, Bupati Mojokerto saat itu, bersama Henry Maclaine Pont, seorang Arkeolog berkebangsaan Belanda.
Museum Trowulan
Tampak samping Gedung utama Museum Trowulan, dan bangunan joglo tanpa dinding yang menyimpan arca-arca dan benda-benda peninggalan lainnya dari jaman Kerajaan Majapahit, Kahuripan, Kediri, dan juga Singasari.
Museum Trowulan
Koleksi benda kuno milik Henry Mclain Pont di ruangan besar Museum Trowulan yang berada di sebelah kiri, berupa kursi ukir motif dedaunan dan tumpal antik bergaya Jawa Eropa, lonceng pintu, patung orang tua, dan lampu duduk.
Museum Trowulan
Patung Hariti di Museum Trowulan, tanpa kepala, dan satu kepala terpisah, yang biasanya digambarkan dengan buah dada besar dan dikelilingi anak-anak. Hariti adalah mahluk mitologi untuk melindungi anak-anak, memberi kemudahan saat melahirkan, menjaga dan merawat anak-anak, menjaga keharmonisan suami isteri, cinta, dan kesejahteraan serta keamanan keluarga. Ia juga dipuja wanita tanpa anak agar bisa hamil.
Museum Trowulan
Pantheon Hindu di Museum Trowulan, dengan penempatan Lingga Yoni di tengah, Siwa di Selatan, Durga di Utara, Ganesha di Barat, Mahakala di kiri pintu masuk, dan Nandiswara di kanan pintu masuk.

Pertemuan Lingga (Siwa) dan Yoni (Parwati) melambangkan kesuburan dan kelangsungan hidup. Lazimnya terdapat tiga bentuk lingga, yaitu Brahma bhaga (segi empat), Wisnu Bhaga (segi delapan) dan Siwa bhaga (silindris).
Museum Trowulan
Koleksi berbagai bentuk dan warna tempayan di Museum Trowulan, dengan bermacam poster di sebelah kiri dan lemari kaca yang menyimpan koleksi benda purbakala di sebelah kanan.
Museum Trowulan
Di ruangan yang ukurannya lebih kecil di sebelah kanan Museum Trowulan tersimpan benda-benda bersejarah yang lebih berharga, seperti bermacam wadah terbuat dari logam yang digunakan dalam upacara keagamaan, keris-keris kuno, dll.
Museum Trowulan
Sebuah sumur model kuno di Museum Trowulan, terbuat dari batu bata dan gerabah, yang lazimnya berbentuk persegi dan bundar. Sumur bata persegi letaknya biasanya berdekatan dengan bangunan suci, dan sumur bata bundar ditemukan pada kompleks pemukiman kuno. Sumur yang dibuat dari gerabah disebut jobong, dan biasanya ada di persawahan.
Museum Trowulan
Pegangan pintu candi dengan ornamen dedaunan yang terbuat dari logam di Museum Trowulan. Beberapa koleksi lainnya yang terbuat dari logam dengan teknik pengerjaan sangat halus juga disimpan di ruangan sayap kanan Museum Trowulan.
Museum Trowulan
Di bawah cungkup-cungkup joglo kecil terbuka, di belakang bangunan utama Museum Trowulan, tersimpan berbagai macam arca yang kebanyakan dari jaman Majapahit, sebagian masih utuh dan sebagian yang lain telah rusak dan sulit dikenali lagi.
Museum Trowulan
Samuderamanthana di Museum Trowulan, yang merupakan miniatur bangunan candi dengan relief cerita pencarian Amerta, air kehidupan.

Alkisah, ketika dunia hanya dihuni padar dewa dan raksasa, Dewa Brahma khawatir jika suatu ketika dunia dikuasai kejahatan, karena jumlah raksasa lebih banyak. Para dewa pun rapat dan memutuskan mengaduk samudera untuk mendapatkan Amerta. Gunung Mandara dipakai sebagai pengaduk, kura-kura jelmaan Dewa Wisnu sebagai alasnya, dan Dewa Basuki menjelma menjadi ular yang sangat panjang dan membelit gunung.

Para dewa dan raksasa bergantian menarik ular sampai Gunung Mandara berputar mengaduk samudera, dan akhirnya dari dalam Samudera Ksira (lautan susu) keluarlah Ardhacandra, Dewi Sura, Dewi Laksmi, Dewi Sri, Ucchaisravara dan Dewa Dhanwantari dengan membawa guci Amerta.

Namun guci tersebut jatuh ke tangan raksasa. Dewa Brahma pun menjelma menjadi bidadari cantik untuk menggoda para raksasa sampai akhirnya berhasil merebut kembali Guci Amerta.
Museum Trowulan
Arca Wisnu menunggang Garuda di Museum Trowulan. Arca ini merupakan penggambaran Airlangga, Raja Kahuripan, yang dipercaya sebagai titisan Dewa Wisnu. Setelah membagi Kahuripan menjadi Kediri (Dhoho/Panjalu) dan Jenggala tahun 1045, Airlangga menjadi pertapa bergelar Resi Gentayu. Ketika ia meninggal pada 1049, patung itu dibuat untuk memujanya sebagai jelmaan Wisnu, dewa penyelamat dan penjaga dunia. Garuda yang ditungganginya juga merupakan simbol kerajaan Kediri (Garudamukha).
Museum Trowulan
Sebuah arca Gajasura Samhara Murti di Museum Trowulan. Gajasura, adalah iblis dalam wujud gajah yang mengganggu meditasi para penganut Siwa, dan menyebar kerusakan, sehingga Dewa Siwa membunuh Gajasura dan memakai kulit Gajasura untuk menutupi tubuhnya sebagai tanda kemenangan.
Museum Trowulan
Sebuah prasasti batu di Museum Trowulan, dengan bagian atas rusak dan sulit terbaca lagi, namun bagian bawahnya relatif masih utuh. Ada banyak sekali arca tidak lengkap di Museum Trowulan, yang akan sangat menarik jika bisa dibuat duplikatnya dalam bentuk utuhnya.

Potongan batuan candi dengan berbagi relief juga dipajang di ruang terbuka di bagian belakang Museum Trowulan. Tentu akan sangat menarik jika batu-batu ini bisa disusun kembali menjadi sebuah candi yang bisa lebih dinikmati keindahannya.
Museum Trowulan
Dua buah arca batu yang tidak utuh, besar dan kecil, di sebuah cungkup joglo kecil, di pelataran Museum Trowulan. Banyak sekali benda-benda peninggalan purbakala yang disimpan di area terbuka di Museum Trowulan ini.
Museum Trowulan
Buah Maja yang berbentuk bulat berwarna hijau yang ditanam di halaman Museum Trowulan. Ketika Raden Wijaya dan para pengikutnya membabat alas Tarik untuk menjadi permukiman, pengikutnya memakan buah Maja muda yang rasanya pahit, sehingga daerah baru itu dinakaman Majapahit, yang kemudian tumbuh menjadi sebuah kerajaan yang besar dan kuat di Nusantara.

Kulit Buah Maja yang berwarna hijau ketika muda ini akan berubah menjadi coklat setelah tua, dengan daging berwarna kuning hingga jingga. Ketika masak, biasanya pada musim kemarau, buah maja sebenarnya berasa manis, berair, dan beraroma wangi.

Museum Trowulan merupakan museum yang menyimpan koleksi benda purbakala dari masa Majapahit yang terlengkap di Indonesia, dan wajib dikunjungi bagi yang berminat memasuki lorong waktu kejayaan masa silam, sebagai akar dan fondasi bagi kejayaan masa kini dan mendatang.

Museum Trowulan
Jl. Pendopo Agung, Kecamatan Trowulan,
Mojokerto, Telp. dan Fax: (0321) 495515
Sekitar 1 jam dari Kota Surabaya.
GPS: -7.560139,112.380888